Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi (Kemenkominfo) menyetujui Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 tentang Implementasi Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). PP PSTE telah diperbarui ke Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan peraturan tersebut secara resmi terdaftar sebagai peraturan terbaru pada halaman dokumenter Kementerian Negara (JDIH) dan Jaringan Jaringan Hukum. Berdasarkan situs web Sekretariat dan Informasi Hukum (JDIH), peraturan ini ditetapkan pada tanggal 4 Oktober 2019 dan diimplementasikan pada 10 Oktober 2019.
“Ada di situs web Sekretariat Negara,” kata Semuel, Selasa (22/10).
Di masa lalu, Kementerian Komunikasi dan Informasi harus menunda ratifikasi PP PSTE setelah pemilihan dengan alasan untuk mencari situasi yang menguntungkan. Ternyata pengesahan itu ditunda hingga Oktober.
Revisi ke PP No.82 tahun 2012 menjadi polemik. Karena itu, industri menganggap aturan ini akan merugikan industri dalam negeri. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pernah membuang kerugian negara sebesar Rp85,2 triliun. Kerugian potensial ini terjadi karena perhitungan investasi perusahaan asing yang tidak berinvestasi di Indonesia.
Berdasarkan peraturan PP PSTE sebelum revisi, pemerintah mewajibkan pemilik layanan untuk mengatur server mereka di Indonesia. Ini mendorong pemain industri lokal untuk berinvestasi di pusat data. Perubahan ini mengancam kegagalan investasi mereka.
Di sisi lain, pemain layanan internasional mempertanyakan keandalan pusat data yang disediakan oleh pemain lokal di Indonesia. Mereka khawatir bahwa entri data di Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan pihak yang tidak bertanggung jawab karena lemahnya perlindungan data.
Sebagai jalan tengah, pemerintah kemudian mengklasifikasikan data menjadi tiga kelompok. Tiga klasifikasi tersebut adalah data strategis, risiko tinggi dan risiko rendah. Dari ketiganya, hanya data strategis yang harus disimpan di Indonesia. Misalnya nomor identifikasi tempat tinggal (NIK), kartu keluarga (KK), dan data dari badan intelijen. Sementara itu, dua klasifikasi lainnya dapat disimpan di luar negeri.
Sebelumnya, Semuel menjelaskan bahwa pemerintah khawatir bahwa mewajibkan entri data di negara ini akan membuat banyak penyedia layanan elektronik tidak dapat memenuhi peraturan penempatan pusat data di Indonesia. Menurut Semuel, ini tentu tidak baik untuk pengembangan bisnis di Indonesia.
Selain itu, Semuel juga mengatakan bahwa penyedia pusat data akan menguntungkan pemerintah juga. Karena, berdasarkan klasifikasi data, pemerintah dapat menyimpan data berisiko tinggi dan rendah ke pihak ketiga.
https://ift.tt/2N3ASaj
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.