Serangan dunia maya menggunakan kecerdasan buatan (AI) diperkirakan akan menjadi lebih berbahaya pada tahun 2020. Lembaga penelitian dunia maya Indonesia CISSReC (Pusat Riset Keamanan & Sistem Informasi & Komunikasi) menyerang serangan buatan kekayaan intelektual, sehingga membuat serangan dunia maya lebih berbahaya.
Ketua CISSReC Pratama Persadha mengatakan peretas menggunakan AI sehingga malware, ransomware, virus, dan pasukan dapat terus tumbuh dan terus meningkatkan kerentanan mereka untuk memerangi anti-virus.
“Pengembangan AI benar-benar menstimulasi, meskipun merupakan solusi di berbagai bidang. Tetapi kita juga harus mengharapkan AI digunakan untuk mengembangkan perangkat serangan cyber yang lebih canggih, sebuah parasit di tempat-tempat dunia maya yang bisa berpikir seperti manusia, “kata Pratama dalam pernyataan resmi, Selasa (31/12).
Bagi Pratama, pengembangan AI tidak hanya mendorong pengembangan industri digital tetapi juga berkontribusi pada pengembangan serangan cyber. Serangan dunia maya melalui Internet of Thing (IoT) juga diprediksi akan meningkat pada tahun 2020.
Efisiensi IoT yang menghubungkan perangkat yang berbeda satu sama lain menciptakan ruang bagi peretas untuk memasuki jaringan bisnis.
“Meningkatkan perangkat yang terhubung satu sama lain dapat menciptakan ruang bagi penyerang untuk membajak perangkat ini untuk menyusup ke jaringan bisnis,” kata Pratama.
Ancaman terhadap kelanjutan pemilihan umum serentak tahun 2020 di negara itu juga bisa datang dari kawasan dunia maya. Pratama mengatakan AI juga dapat digunakan untuk menyebarkan pidato kebencian dan pertemuan yang mengancam situasi pemilu yang menguntungkan sekaligus.
Oleh karena itu, Pratama berharap penegakan hukum dan pendidikan dapat diintensifkan untuk mengurangi ancaman pemilihan lokal bersamaan.
Menurut Pratama, tren hoaks akan menjadi lebih canggih. Apalagi dengan teknologi yang dalam yang dapat membuat video palsu terlihat asli. Dengan mendalam, video palsu dapat dibuat dengan memanipulasi wajah dan suara seseorang.
Dalam video itu, seseorang dapat dibuat untuk mengatakan sesuatu yang belum dia katakan. Semua ini dikembangkan dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI).
“Salah satu hasilnya adalah video tipuan yang membuatnya sulit untuk mengidentifikasi mana yang merupakan perselisihan asli. Itu harus ditonton sejak usia dini, karena rentan untuk memecah belah orang,” kata Pratama.
Kurangnya pendidikan publik juga dikaitkan dengan peretasan phishing tinggi yang dikemas melalui rekayasa sosial. Kaspersky mengatakan akan ada 14 juta upaya phishing di Asia Tenggara saja pada paruh pertama 2019.
Pratama mengatakan semakin banyak orang yang menyadari bahwa celah keamanan tidak selalu merupakan hal dari sistem web, aplikasi dan jaringan. Semakin banyak orang menyadari bahwa manipulasi juga dapat dilakukan melalui korban tanpa sepengetahuan teknologi informasi.
Ruang keamanan yang paling banyak digunakan memanggil OTP melalui SMS atau telepon. Praktek ini adalah praktik rekayasa sosial yang sering dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan berbagai modus operasi.
Pratama kemudian mengutip kasus Gopay Maia Estianty yang menderita serangan dunia maya karena gangguan OTP.
“Baik perbankan, pasar, dan siapa pun yang memiliki bisnis dan aplikasi internet harus memperhatikannya. Aspek penguatan keamanan cyber tidak hanya teknis, tetapi juga pendidikan publik, sehingga meminimalkan peluang untuk penipuan, “Kata Pratama.
Pratama mengatakan bahwa dalam hal sumber daya manusia, Indonesia harus meningkatkan diri untuk siap menghadapi ancaman cyber dan digitalisasi. Sumber daya manusia di Indonesia saat ini dianggap kurang siap menghadapi ancaman dunia maya dan digitalisasi.
“Pemerintah sepenuhnya menyadari hal ini dengan mengadakan Digital Talent 2019, salah satunya adalah meningkatkan sumber daya manusia dengan kemampuan dunia maya, termasuk keamanan dunia maya,” kata Pratama.
https://ift.tt/2SVg8WB
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.